Ngobrol Di Kebun Bambu


Bertemu dan diskusi itu hal yang biasa, kali ini ngobrol dengan petani dan wanita tani yang punya kopi di Dusun Ngadiprono Ngadimulyo. Sore hari mereka berkumpul ditengah kebun bambu, lokasi kebun bambu ini yang sering buat gelaran pasar papringan.
Rabu, 17 Oktober 2018 merupakan hal yang menarik bagi penulis. Bertemu dan berdiskusi dengan para petani yang juga memiliki semangat untuk merawat kopi yang ada disekitar pasar papringan.
Petani yang hadir memiliki pohon kopi, tapi belum dirawat secara maksimal. Penulis mengajak bagaimana agar pohon kopi bisa produksi maksimal dan mempunyai nilai tambah yang lebih. Nilai tambah disini adalah mengolah kopi dari biji mentah menjadi bubuk dan siap seduh, dan ini merupakan tugas dari generasi muda petani.
Penulis mengajak untuk menghitung atau mengenal aset yang ada seperti kebun atau ladang dan isinya. Setelah mengenal aset itu harus dikelola dengan maksimal sehingga mempunyai nilai yang lebih. Penulis mengajak membangun mimpi mulai dari memetakan kepemilikan lahan dan isinya ketika dinominalkan. Dari harga mentah bahan sampai jadi matang sehingga terlihat nilai tambahnya.
Diskusi sore itu juga ditemani cemilan hasil karya warga setempat. Masih ada juga petani yang sekedar nanam dan dibiarkan saja tanpa dan perawatan bahkan pemupukan. Diskusi menarik mulai dari bagaimana melakukan pemupukan dan pemangkasan, namun kali ini belum pada tahap praktek. Pertemuan awal ini bagi penulis merupakan langkah awal untuk mengenal petani lebih dekat.
Pertemuan selanjutnya disepakati untuk praktek di kebun kopi masing-masing. Namun sudah ditunjuk salah satu kebun unuk dijadikan percontohan, mulai dari pemupukannya dan sampai pada pemangkasannya. Bahkan penulis meminta kalau bisa pertemuan selanjutnya ada generasi penerus petani. Dengan harapan ketika generasi penerus ikut hadir akan tumbuh minat untuk mengolah hasil pertanian jadi industri pertanian sehingga mempunyai hasil yang berlipat.
Cerita sore, membangun mimpi di kebun bambu dihadiri sekitar 12 petani dan wanita tani. Diskusi yang berlangsung hampir 2 jam itu membuahkan semangat merawat kopi agar produksinya lebih banyak dari biasanya. Dan itulah “secangkir kopi ada cerita banyak saudara dan penuh cinta” mukidi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *